Pindah
ya? Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka dari tempat dudukku ini.
Satu, dua, lima, tujuh. Entah akan ada beberapa orang lagi yang akan memiliki
pemikiran yang sama. Pindah dari universitas ini ke universitas lain. Mencari
sesuatu yang lebih atau mengejar impian yang tertunda untuk sementara ini. Aku
tertegun sejenak. Jadi ini rasanya ketika kamu sudah mulai nyaman dengan
kehadiran mereka, ketika kamu sudah terbiasa dengan tingkah laku mereka,
tiba-tiba saja mereka harus pergi dari kehidupan kita. Semester ini pun rasanya
juga hambar. Kita mulai terbagi jadwal kelasnya. Tidak bisa benar-benar menjadi
satu seperti semester tiga kemarin. Semakin ke sini juga mulai banyak anak-anak
yang menampakkan keengganannya untuk datang menghadiri perkuliahan. Celotehan
mereka yang khas seakan mulai mengabur dari pendengaranku.
“Kamu
juga mau pindah?” tanyaku pada Zidan. Zidan lalu menoleh ke arahku, dengan
senyumnya yang khas dia hanya mengangkat bahunya.
“Entahlah,
hahahaha. Kenapa?” tanyanya kembali.
“Nggak
apa-apa. Rasanya makin sepi aja.”
“Bukan
pindah sih kalau aku mungkin, lebih ke exchange
ke luar negeri aja. Sayang udah 2 tahun ini. Tapi ini juga baru rencana sih,
masih kurang tahu bakal gimana ke depannya.”
“Oh..”
Percakapan
kami pun terhenti. Aku rasa ini pertama kalinya aku bisa berbicara dengannya
cukup panjang. Aku kembali menatap punggungnya dari tempat dudukku ini. Aku
hanya tersenyum kecut ketika mulai menyadari ini semua. Ya, aku baru menyadari
kalau salah satu kekhawatiran besarku karenanya. Entah sejak kapan aku mulai
terbiasa dengan kehadirannya, sangat
terbiasa.
Bahkan rasanya selalu ada yang kurang ketika tidak ada dirinya. Aku suka
menatap dirinya dari sudut terjauh ini, memperhatikan gerak-geriknya, ataupun sekedar mendengarkan
dia berargumentasi akan suatu hal. Dan satu lagi, aku suka cara dia berbicara
dengan lawannya. Menatap mata lawan bicaranya lekat-lekat. Termasuk ketika
berbicara denganku. Aku akan sangat merindukan saat-saat aku bisa menatap
matanya dan melihat dirinya tengah menatap mataku juga. Mata cokelat tersebut, mata
yang terlihat tajam tapi juga lembut secara bersamaan.
**************************************************************
“Siapa,
Tih?” Vanya tersenyum jahil. Belum lagi Rangga dan Denis juga cekikikan ketika
Vanya mulai bertanya.
“Apanya
yang siapa?” Aku hanya bingung melihat polah mereka.
“Yang
akhirnya bisa bikin sahabat tercinta kita ini jatuh cinta.” Jawab Rangga.
Aku
tersenyum menatap mereka. Mereka bahkan lebih cepat menyadarinya daripada aku.
“Enggak
kok, enggak ada.” Jawabku lagi
“Jangan
dipikir kita nggak tahu ya, Tih. Bukan kamu banget tiba-tiba jadi galauan gini.
Hahahaha.” Rangga terus-terusan menggodaku.
“Udah
cerita aja kalau rasanya emang ngganjel,
kamu udah terlalu sering ndengerin kita. Sekarang kita yang harus gantian
ndengerin kamu,” kata Denis sambil mengacak-acak rambutku
Aku
bahkan tidak tahu harus memulai bercerita dari mana.
Karena sebenarnya aku sendiri baru menyadarinya akhir-akhir ini.
“Aku
pikir ini bukan cinta. Cuma sekedar perasaan suka atau kagum yang biasanya akan
menghilang begitu aja seiringnya waktu.” Tanpa sadar aku tiba-tiba berbicara
sendiri.
“
Tapi ternyata aku terlalu kuat menanam rasa kagum itu,”
“Sekarang
dia bahkan mau pergi dalam beberapa bulan ke depan. Kasihan banget ya aku? Baru
sadar cinta sama orang ketika orang itu ternyata udah mau pergi aja, hahaha.”
Aku tertawa getir berusaha melawan rasa pedih ini.
Vanya memeluk aku. “Nggak kok, Tih.
Nggak telat, kamu bisa memulainya sekarang.”
“Siapalah aku ini, Van? Orang yang
bahkan ketidak hadirannya gak bakal dicari. Orang yang lebih suka duduk di
pojok belakang tanpa harus banyak ngomong menimpali setiap pertanyaan dosen.”
Ucapku lagi.
“Tapi kamu istimewa, Tih. Kamu
istimewa dengan caramu sendiri. Nggak usah merasa rendah diri dengan diri kamu
sendiri.” Rangga kini ikut bersuara juga.
“Aku kasih tahu kamu satu rahasia
ya, Tih. When a guy start to love someone
deeply, he actually means it. He loves every single things about her and he
never doubts it. That’s it the thing that you should know.”
Suasana hening pun menyergap meet up kali ini. When a guy start to love someone deeply, he actually means it. Aku
menggumamkan kata-kata yang diucapkan Rangga saat itu. Yes, it happens when a guy start to love that lucky girl not because an
invisible girl who start to love that guy firstly, even that guy might be never
know her existence. Ah, sudahlah. Untuk apa memikirkan orang yang mungkin
bahkan orang tersebut tidak pernah memikirkan aku. Dan suasana apa ini? Pertemuan
yang biasanya penuh dengan canda tawa ini kenapa menjadi terasa sangat serius.
Aku lalu langsung berusaha untuk memecahkan suasana ini.
“Kenapa kalian serius banget sih?”
aku langsung menjitak kepala mereka semua, lalu tertawa terbahak-bahak. Dan untuk
pertama kalinya aku menyadari bahwa aku beruntung bisa berada diantara mereka.
“Kampret! Aku udah ikut menye-menye,
malah kaya gini reaksinya Ratih. Emang ya, kamu tuh kayaknya gak bisa romatis
soal cinta.” Tangan Rangga sudah siap buat menjitak kembali aku.
Sedangkan Denis? Hanya tersenyum
simpul seperti biasa.
“Kita Cuma nggak mau, sahabat kita
yang susah banget jatuh cinta ini ngerasain lebih banyak sakit daripada
bahagianya karena cinta.” Denis kembali menimpali
“Aku tahu kok setiap konsekuensi ketika
kamu mulai jatuh cinta dengan seseorang. Kalian nggak usah selebay itu,
mentang-mentang udah expert di dunia
percintaan,” kataku sambil tersenyum lebar.
“Percaya sama aku, orang yang
akhirnya berhasil bisa dapetin hati kamu sesungguhnya dia beruntung banget.
Karena kamu udah bertahun-tahun njaga hatimu buat nggak sembarangan jatuh cinta,” kata Denis.
Kalau aja kamu tahu Den, alasan aku
buat nggak semudah itu untuk membuka pintu hatiku. Aku takut dengan penolakan.
Dengan hal-hal yang ada diriku ini aku merasa masih banyak kekurangan dan aku
tidak mau sakit karena sebuah penolakan. Tapi akhirnya, tiba juga waktu
tersebut. Waktu di mana aku sudah tidak bisa menjaga perasaan ini erat-erat
karena kehadirannya. Kubalas perkataan Denis dengan senyuman.
***************************************************************
Aku tak tahu mengapa bulan-bulan
sebelum kepergiannya justru semakin terasa seperti di neraka. Hari ini pun
begitu. Tepat satu bulan sebelum keberangkatannya untuk exchange dan aku harus disuguhi dengan pemandangan seperti ini. Aku
hanya bisa menarik nafas panjang. Ya, aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi
melihat dia yang selalu bermesraan dengan perempuan lain, siapa yang tidak
sakit hati? Bahkan kata-kata manis yang selalu aku baca di buku ataupun novel yang
mengatakan segalanya akan baik-baik saja selama dia bahagia terasa sangat bullshit. Jika sudah seperti ini, Denis
biasanya akan menepuk-nepuk punggungku dengan halus. Di antara
sahabat-sahabatku yang lain dialah satu-satunya yang satu kelas denganku. Dan
entah mengapa dia juga yang paling peka dengan segala perubahanku bahkan siapa
yang aku suka tanpa aku banyak berbicara.
“Ratih, Denis, Zidan, Filma, Wildan,
kalian satu kelompok ya,” ucapan dosenku membuyarkan lamunanku. Sial, umpatku
dalam hati. Kenapa harus satu kelompok dengan mereka?
**************************************************************
Canggung? Tentu saja. Karena pada
dasarnya kita semua tidak benar-benar dekat satu sama lain kecuali aku dengan
Denis. Terima kasih atas kehadiran Wildan yang bisa memeriahkan suasana ini.
Setidaknya dia bisa benar-benar membuatku tertawa sementara hati ini rasanya
sudah mau muntah saja melihat kelakuan Zidan dan Filma. Semakin ke sini aku
semakin meragukan bahwa aku benar-benar mencintai Zidan. Perih? Sedikit, tapi
komposisi muak lebih mendominasi di sini. Kabar mengenai mereka yang telah
jadian pun sudah menggegerkan angkatan kami. Siapa yang tidak kenal Zidan dan
Filma? Sama-sama memiliki paras yang menarik, sama-sama dianugerahi kapasitas otak
yang tidak terbatas. Dan aku? Hanyalah itik buruk rupa jika dibandingkan dengan
mereka. Layaknya bumi dan langit tidak akan pernah bertemu.
Aku
merapikan barang-barang di meja kursiku. Hari ini rasanya hari terpanjang yang
pernah ada. Kelas sudah kosong dan seperti biasa selalu aku yang menjadi
makhluk terakhir meninggalkan kelas. Biasanya ada Denis yang menemaniku, tapi
kali ini dia harus cepat-cepat pulang. Tanganku tidak sengaja memegang sebuah sticky note. Isi sticky note itu membuatku mengerutkan kening.
“Kamu
tahu? Kamu itu cantik.” Aneh, gumamku. No
one ever realize my existence. Ternyata sticky
note ini mengantarkanku ke sticky
notes yang lainnya.
“Senyumlaaah,
dia yang nggak pernah menghargai keberadaanmu tidak berhak mendapatkan hatimu.”
“Secretly admiring someone? Aku tahu
rasanya itu sejak aku bertemu dengan kamu dan aku berani jamin aku lebih
berpengalaman dari kamu.”
“Is it too cheesy for you? Emm, the sad truth
is I am a cheesy person because I am clumsy and I don’t know the best way to express
it”
“But I am sure, this
feeling is not as cheesy as you think.”
“I never
know since when I fall in love with you. But the first time I look into your
eyes, I know you are the one.”
“Untuk
apapun jawabanm itu, well let’s just be pretending
there was nothing happened.”
“Dan satu pertanyaan terkahir aku, kenapa
harus mencoba menggapai bintang yang terjauh kalau sebenarnya selalu ada satu
bintang yang memperhatikan kamu?”
Satu,
dua, tiga, tujuh, sembilan, sepuluh tepat sticky note ke sepuluh dan tanpa aku
sadari aku sudah keluar dari kelas menuju sebuah lorong yang cukup gelap tanpa
lampu dengan hanya ada pencahayaan lilin di kanan kirinya. Seingatku lorong ini
tidaklah segelap ini biasanya. Kuikuti ke mana lilin itu akan terhenti,
senyap-senyap lagu Fix You mengalun di telingaku. Aku merasa mengenali suara
ini. Bayangan orang yang menyanyikan itu pun semakin jelas. Semakin jelas. Dan
jelas. Aku pun terhenyak. Kemudian kenangan-kenangan, memori-memori yang telah
lalu itu membuatku aku bisa memahami logika ini...