Selasa, 19 Mei 2015

Cerpen: That Feeling

Pindah ya? Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka dari tempat dudukku ini. Satu, dua, lima, tujuh. Entah akan ada beberapa orang lagi yang akan memiliki pemikiran yang sama. Pindah dari universitas ini ke universitas lain. Mencari sesuatu yang lebih atau mengejar impian yang tertunda untuk sementara ini. Aku tertegun sejenak. Jadi ini rasanya ketika kamu sudah mulai nyaman dengan kehadiran mereka, ketika kamu sudah terbiasa dengan tingkah laku mereka, tiba-tiba saja mereka harus pergi dari kehidupan kita. Semester ini pun rasanya juga hambar. Kita mulai terbagi jadwal kelasnya. Tidak bisa benar-benar menjadi satu seperti semester tiga kemarin. Semakin ke sini juga mulai banyak anak-anak yang menampakkan keengganannya untuk datang menghadiri perkuliahan. Celotehan mereka yang khas seakan mulai mengabur dari pendengaranku.
“Kamu juga mau pindah?” tanyaku pada Zidan. Zidan lalu menoleh ke arahku, dengan senyumnya yang khas dia hanya mengangkat bahunya.
“Entahlah, hahahaha. Kenapa?” tanyanya kembali.
“Nggak apa-apa. Rasanya makin sepi aja.”
“Bukan pindah sih kalau aku mungkin, lebih ke exchange ke luar negeri aja. Sayang udah 2 tahun ini. Tapi ini juga baru rencana sih, masih kurang tahu bakal gimana ke depannya.”
“Oh..”
Percakapan kami pun terhenti. Aku rasa ini pertama kalinya aku bisa berbicara dengannya cukup panjang. Aku kembali menatap punggungnya dari tempat dudukku ini. Aku hanya tersenyum kecut ketika mulai menyadari ini semua. Ya, aku baru menyadari kalau salah satu kekhawatiran besarku karenanya. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa dengan kehadirannya, sangat terbiasa. Bahkan rasanya selalu ada yang kurang ketika tidak ada dirinya. Aku suka menatap dirinya dari sudut terjauh ini, memperhatikan gerak-geriknya, ataupun sekedar mendengarkan dia berargumentasi akan suatu hal. Dan satu lagi, aku suka cara dia berbicara dengan lawannya. Menatap mata lawan bicaranya lekat-lekat. Termasuk ketika berbicara denganku. Aku akan sangat merindukan saat-saat aku bisa menatap matanya dan melihat dirinya tengah menatap mataku juga. Mata cokelat tersebut, mata yang terlihat tajam tapi juga lembut secara bersamaan.
**************************************************************
“Siapa, Tih?” Vanya tersenyum jahil. Belum lagi Rangga dan Denis juga cekikikan ketika Vanya mulai bertanya.
“Apanya yang siapa?” Aku hanya bingung melihat polah mereka.
“Yang akhirnya bisa bikin sahabat tercinta kita ini jatuh cinta.” Jawab Rangga.
Aku tersenyum menatap mereka. Mereka bahkan lebih cepat menyadarinya daripada aku.
“Enggak kok, enggak ada.” Jawabku lagi
“Jangan dipikir kita nggak tahu ya, Tih. Bukan kamu banget tiba-tiba jadi galauan gini. Hahahaha.” Rangga terus-terusan menggodaku.
“Udah cerita aja kalau rasanya emang ngganjel, kamu udah terlalu sering ndengerin kita. Sekarang kita yang harus gantian ndengerin kamu,” kata Denis sambil mengacak-acak rambutku
Aku bahkan tidak tahu harus memulai bercerita dari mana. Karena sebenarnya aku sendiri baru menyadarinya akhir-akhir ini.
“Aku pikir ini bukan cinta. Cuma sekedar perasaan suka atau kagum yang biasanya akan menghilang begitu aja seiringnya waktu.” Tanpa sadar aku tiba-tiba berbicara sendiri.
“ Tapi ternyata aku terlalu kuat menanam rasa kagum itu,”
“Sekarang dia bahkan mau pergi dalam beberapa bulan ke depan. Kasihan banget ya aku? Baru sadar cinta sama orang ketika orang itu ternyata udah mau pergi aja, hahaha.” Aku tertawa getir berusaha melawan rasa pedih ini.
            Vanya memeluk aku. “Nggak kok, Tih. Nggak telat, kamu bisa memulainya sekarang.”
            “Siapalah aku ini, Van? Orang yang bahkan ketidak hadirannya gak bakal dicari. Orang yang lebih suka duduk di pojok belakang tanpa harus banyak ngomong menimpali setiap pertanyaan dosen.” Ucapku lagi.
            “Tapi kamu istimewa, Tih. Kamu istimewa dengan caramu sendiri. Nggak usah merasa rendah diri dengan diri kamu sendiri.” Rangga kini ikut bersuara juga.
            “Aku kasih tahu kamu satu rahasia ya, Tih. When a guy start to love someone deeply, he actually means it. He loves every single things about her and he never doubts it. That’s it the thing that you should know.”
            Suasana hening pun menyergap meet up kali ini. When a guy start to love someone deeply, he actually means it. Aku menggumamkan kata-kata yang diucapkan Rangga saat itu. Yes, it happens when a guy start to love that lucky girl not because an invisible girl who start to love that guy firstly, even that guy might be never know her existence. Ah, sudahlah. Untuk apa memikirkan orang yang mungkin bahkan orang tersebut tidak pernah memikirkan aku. Dan suasana apa ini? Pertemuan yang biasanya penuh dengan canda tawa ini kenapa menjadi terasa sangat serius. Aku lalu langsung berusaha untuk memecahkan suasana ini.
            “Kenapa kalian serius banget sih?” aku langsung menjitak kepala mereka semua, lalu tertawa terbahak-bahak. Dan untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku beruntung bisa berada diantara mereka.
            “Kampret! Aku udah ikut menye-menye, malah kaya gini reaksinya Ratih. Emang ya, kamu tuh kayaknya gak bisa romatis soal cinta.” Tangan Rangga sudah siap buat menjitak kembali aku.
            Sedangkan Denis? Hanya tersenyum simpul seperti biasa.
            “Kita Cuma nggak mau, sahabat kita yang susah banget jatuh cinta ini ngerasain lebih banyak sakit daripada bahagianya karena cinta.” Denis kembali menimpali
            “Aku tahu kok setiap konsekuensi ketika kamu mulai jatuh cinta dengan seseorang. Kalian nggak usah selebay itu, mentang-mentang udah expert di dunia percintaan,” kataku sambil tersenyum lebar.
            “Percaya sama aku, orang yang akhirnya berhasil bisa dapetin hati kamu sesungguhnya dia beruntung banget. Karena kamu udah bertahun-tahun njaga hatimu buat  nggak sembarangan jatuh cinta,” kata Denis.
            Kalau aja kamu tahu Den, alasan aku buat nggak semudah itu untuk membuka pintu hatiku. Aku takut dengan penolakan. Dengan hal-hal yang ada diriku ini aku merasa masih banyak kekurangan dan aku tidak mau sakit karena sebuah penolakan. Tapi akhirnya, tiba juga waktu tersebut. Waktu di mana aku sudah tidak bisa menjaga perasaan ini erat-erat karena kehadirannya. Kubalas perkataan Denis dengan senyuman.
            ***************************************************************
            Aku tak tahu mengapa bulan-bulan sebelum kepergiannya justru semakin terasa seperti di neraka. Hari ini pun begitu. Tepat satu bulan sebelum keberangkatannya untuk exchange dan aku harus disuguhi dengan pemandangan seperti ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Ya, aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi melihat dia yang selalu bermesraan dengan perempuan lain, siapa yang tidak sakit hati? Bahkan kata-kata manis yang selalu aku baca di buku ataupun novel yang mengatakan segalanya akan baik-baik saja selama dia bahagia terasa sangat bullshit. Jika sudah seperti ini, Denis biasanya akan menepuk-nepuk punggungku dengan halus. Di antara sahabat-sahabatku yang lain dialah satu-satunya yang satu kelas denganku. Dan entah mengapa dia juga yang paling peka dengan segala perubahanku bahkan siapa yang aku suka tanpa aku banyak berbicara.
            “Ratih, Denis, Zidan, Filma, Wildan, kalian satu kelompok ya,” ucapan dosenku membuyarkan lamunanku. Sial, umpatku dalam hati. Kenapa harus satu kelompok dengan mereka?
            **************************************************************
            Canggung? Tentu saja. Karena pada dasarnya kita semua tidak benar-benar dekat satu sama lain kecuali aku dengan Denis. Terima kasih atas kehadiran Wildan yang bisa memeriahkan suasana ini. Setidaknya dia bisa benar-benar membuatku tertawa sementara hati ini rasanya sudah mau muntah saja melihat kelakuan Zidan dan Filma. Semakin ke sini aku semakin meragukan bahwa aku benar-benar mencintai Zidan. Perih? Sedikit, tapi komposisi muak lebih mendominasi di sini. Kabar mengenai mereka yang telah jadian pun sudah menggegerkan angkatan kami. Siapa yang tidak kenal Zidan dan Filma? Sama-sama memiliki paras yang menarik, sama-sama dianugerahi kapasitas otak yang tidak terbatas. Dan aku? Hanyalah itik buruk rupa jika dibandingkan dengan mereka. Layaknya bumi dan langit tidak akan pernah bertemu.
Aku merapikan barang-barang di meja kursiku. Hari ini rasanya hari terpanjang yang pernah ada. Kelas sudah kosong dan seperti biasa selalu aku yang menjadi makhluk terakhir meninggalkan kelas. Biasanya ada Denis yang menemaniku, tapi kali ini dia harus cepat-cepat pulang. Tanganku tidak sengaja memegang sebuah sticky note. Isi sticky note itu membuatku mengerutkan kening.
“Kamu tahu? Kamu itu cantik.” Aneh, gumamku. No one ever realize my existence. Ternyata sticky note ini mengantarkanku ke sticky notes yang lainnya.
“Senyumlaaah, dia yang nggak pernah menghargai keberadaanmu tidak berhak mendapatkan hatimu.”
Secretly admiring someone? Aku tahu rasanya itu sejak aku bertemu dengan kamu dan aku berani jamin aku lebih berpengalaman dari kamu.”
Is it too cheesy for you? Emm, the sad truth is I am a cheesy person because I am clumsy and I don’t know the best way to express it
“But I am sure, this feeling is not as cheesy as you think.”
 “I never know since when I fall in love with you. But the first time I look into your eyes, I know you are the one.”
“Untuk apapun jawabanm itu, well let’s just be pretending there was nothing happened.”
 “Dan satu pertanyaan terkahir aku, kenapa harus mencoba menggapai bintang yang terjauh kalau sebenarnya selalu ada satu bintang yang memperhatikan kamu?”

Satu, dua, tiga, tujuh, sembilan, sepuluh tepat sticky note ke sepuluh dan tanpa aku sadari aku sudah keluar dari kelas menuju sebuah lorong yang cukup gelap tanpa lampu dengan hanya ada pencahayaan lilin di kanan kirinya. Seingatku lorong ini tidaklah segelap ini biasanya. Kuikuti ke mana lilin itu akan terhenti, senyap-senyap lagu Fix You mengalun di telingaku. Aku merasa mengenali suara ini. Bayangan orang yang menyanyikan itu pun semakin jelas. Semakin jelas. Dan jelas. Aku pun terhenyak. Kemudian kenangan-kenangan, memori-memori yang telah lalu itu membuatku aku bisa memahami logika ini...

0 komentar:

Posting Komentar